Selasa, 26 Februari 2013

Perkembangan Budaya Batik Di Indonesia dari Tahun1920 Hingga 2005


       Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Definisi Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya tebentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, pakaian, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya juga dapat diartikan sebagai suatu pola hidup menyeluruh, budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan prilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain. Kebudayaan Indonesia bisa diartikan seluruh ciri khas suatu daerah yang ada sebelum terbentuknya nasional indonesia, yang termasuk kebudayaan Indonesia itu adalah seluruh kebudayaan lokal dari seluruh ragam suku-suku di Indonesia.

       Kerajinan batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman Majapahit dan terus berkembang  hingga  kerajaan  berikutnya.  Meluasnya  kesenian  batik  menjadimilik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap dikenal baru setelah usai Perang Dunia I atau sekitar 1920. Kini batik sudah menjadi bagian pakaian tradisional Indonesia. Batik  adalah  salah  satu  cara  pembuatan  bahan  kain.  Selain  itu  batik  bisa mengacu  pada  dua  hal.  Yang  pertama  adalah  teknik  pewarnaan  kain  dengan menggunakan  malam,  teknik  ini  adalah  salah  satu  bentuk  seni  kuno  yang berguna  untuk  mencegah  pewarnaan  sebagian  dari  kain.  Dalam  literature Internasional,  teknik  ini  dikenal  sebagai  wax-resist  dyeing.  Pengertian  kedua adalah   kain   atau   busana   yang   dibuat   dengan   teknik   tersebut,   termasuk penggunaan  motif-motif  tertentu  yang  memiliki  kekhasan.  Batik  Indonesia,sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta  pengembangan motif dan budaya yang terkait.
     Batik  juga  termasuk  jenis   kerajinan  yang  memiliki  nilai  seni  tinggi  dan  telah menjadi   bagian   dari budaya   Indonesia    (khususnya   Jawa)   sejak   lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam  membatik  sebagai  mata  pencaharian,  sehingga  di  masa  lalu  pekerjaan membatik   adalah   pekerjaan   eksklusif   bagi   kaum   perempuan.   Semenjak
industrialisasi dan globalisasi,  yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis   baru   muncul,   dikenal   sebagai   "Batik   Cap   dan   Batik   Cetak",   yang memungkinkan  masuknya  laki-laki  ke  dalam  bidang  ini.  Pengecualian  bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat   pada   corak   "Mega   Mendung",   dimana   di   beberapa   daerah   pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki. Sementara batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan  menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Tradisi   membatik   pada   mulanya   merupakan   tradisi   yang   turun   temurun, sehingga  kadang  kala  suatu  motif  dapat  dikenal  berasal  dari  batik  keluarga tertentu.  Beberapa  motif  batik  dapat  menunjukkan  status  seseorang.  Bahkan
sampai  saat  ini,  beberapa  motif  batik  tradisonal  hanya  dipakai  oleh  keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.

      Sejarah  batik  yang  tepat  tidak  dapat  dipastikan  tetapi  artifak  batik  berusia lebih  2000  tahun  pernah  ditemui.  Dari  manapun  asalnya,  hasil  seni  ini  telah menjadi warisan peradaban dunia. Jenis corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing   daerah   yang   amat   beragam.   Khas   budaya   Bangsa   Indonesia   yang demikian   kaya   telah   mendorong   lahirnya   berbagai   corak   dan   jenis   batik tradisional dengan ciri kekhususannya sendiri. Pemakaian   batik   dalam   busana   tradisi   mempunyai   sejarah   yang   lama berlangsung  dari  zaman  awal  tamadun  Melayu.  Dipakai  oleh  semua  golongan, dari raja ke bangsawan sampai rakyat jelata, batik menzahirkan dirinya sebagai seni  asli  yang  praktikal  dan  popular.  Dalam  tradisi  penulisan  kain  cindai misalnya  disebut  dalam  banyak  hikayat-hikayat  silam.  Batik  menjadi  hadiah perpisahan dan perlambangan cinta dalam hikayat Malim Demam dan dijadikan tanda penganugerahan derajat dalam Hikayat Hang Tua.

       Sejarah  pembatikan  di  Indonesia  berkaitan  dengan  perkembangan  kerajaan majapahit dan kerajaan  sesudahnya. Dalam  beberapa catatan, pengembangan batik  banyak  dilakukan  pada  masa-masa  kerajaan  Mataram,  kemudian  pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta. Kesenian  batik  merupakan  kesenian  gambar  di  atas  kain  untuk  pakaian  yang menjadi  salah  satu  kebudayaan  keluarga  raja-raja  Indonesia  zaman  dahulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian  raja  dan  keluarga  serta  para  pengikutnya.  Oleh  karena  banyak  dari pengikut raja yang tinggal di luar kraton, maka kesenian batik ini dibawah oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing. Dalam  perkembangannya  lambat  laun  kesenian  batik  ini  ditiru  oleh  rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya  untuk  mengisi  waktu  senggang.  Selanjutnya,  batik  yang  tadinya hanya   pakaian   keluarga   istana,   kemudian   menjadi   pakaian   rakyat   yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Sedangkan bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri  dari  tumbu-tumbuhan  asli  Indonesia  yang  dibuat  sendiri  antara  lain  : pohon  mengkudu,  soga,  nila,  dan  bahan  sodanya  dibuat  dari  soda  abu,  serta garamnya dibuat dari tanah lumpur. Jadi kerajinan batik di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan  terus  berkembang  hingga  kerajaan  berikutnya.  Adapun  mulai  meluasnya
kesenian  batik  ini  menjadi  milik  rakyat  Indonesia  dan  khususnya  suku  Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah  usai  perang  dunia  kesatu  atau  sekitar  tahun  1920.  Kini  batik  sudah menjadi bagian pakaian tradisional Indonesia.

  1. Ragam  corak  dan  warna  Batik  dipengaruhi  oleh  berbagai  pengaruh  asing. Awalnya, batik memiliki ragam  corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak  hanya  boleh  di  pakai  oleh  kalangan  tertentu.  Namun  batik  pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan  juga para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh Tionghoa, yang juga  mempopulerkan  corak  phoenix.  Batik  tradisional  tetap  mempertahankan coraknya,  dan  masih  dipakai  dalam  upacara-upacara  adat,  karena  biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing. Adapun jenis-jenis Batik Berdasarkan Corak / Motifnya yang ada di Indonesia sampai saat ini adalah sebagai berikut : Batik Pekalongan Pasang  surut  perkembangan  batik  Pekalongan,  memperlihatkan  pekalongan layak menjadi ikon bagi perkembangan batik di Nusantar. Ikon bagi karya seni yang  tak  pernah  menyerah  dengan  perkembangan  zaman  dan  selalu  dinamis. Kini  batik  sudah  menjadi  nafas  kehidupan  sehari-hari  warga  Pekalongan  dan merupakan  salah  satu  produk  unggulan.  Hal  ini  disebabkan  oleh  banyaknya industri  yang  menghasilakan  produk  batik.  Karena  terkenal  dengan  produk batiknya, Pekalongan dikenal sebagai Kota Batik. Julukan itu datang dari suatu tradisi  yang cukup lama berakar di Pekalongan. Selama periode yang  panjang itulah,   aneka   sifat,   ragam   kegunaan,   jenis   rancangan,   serta   mutu   batik ditentukan  oleh  iklim  dan  keberadaan  serat-serat  setempat,  faktor  sejarah perdagangan   dan   kesiapan   masyarakatnya   dalam   menerima   paham   serta pemikiran baru. Batik   Pekalongan   termasuk   batik   pesisir   yang   paling   kaya   akan   warna. Sebagaimana ciri khas batik pesisir, ragam hiasnya biasanya bersifat naturalis. Jika  dibandingkan  dengan  batik  pesisir  lainnya  Batik  Pekalongan  ini  sangat dipengaruhi  pendatang  keturunan  China  dan  Belanda.  Motif  Batik  Pekalongan sangant  bebas,  dan  menarik,  meskipun  sering  kali  dimodifikasi  dengan  variasi warna  yang  atraktif.  Tak  jarang  pada  sehelai  kain  batik  dijumpai  hingga  8 warna yang berani, dan kombinasi yang dinamis. Keistimewaan  Batik  Pekalongan  adalah,  para  pembatiknya  selalu  mengikuti perkembangan  zaman.  Misalnya  pada  waktu  penjajahan  jepang,  maka  lahir batik dengan nama " Batik Jawa Hokokai" yaitu batik dengan motif dan warna yang  mirip  kimono  Jepang.  Pada  tahun  enam  puluhan  juga  diciptakan  batik dengan nama "Tritura". Bahkan pada tahun 2005, sesaat setelah presiden SBY diangkat muncul batik dengan motif "SBY" yaitu motif batik yang mirip dengan kain tenun ikat dan songket. Warga Pekalongan tidak perna kehabisan ide untuk membuat kreasi motif batik.
  2. Batik Mega MendungHampir  di  seluruh  wilayah  Jawa  memiliki  kekayaan  budaya  batik  yang khas.  tentu  saja  ada  daerah-daerah  yang  lebih  menonjol  seperti  Solo,  Yogya, dan  Pekalongan.  tetapi  kekayaan  seni  batik  daerah  Cirebon  juga  tidak  kalah disbanding kota-kota lainnya. Menurut   sejarahnya,   di   daerah   cirebon   terdapat   pelabuhan   yang   ramai disinggahi  berbagai  pendatang  dari  dalam   maupun  luar   negri.  Salah  satu pendatang yang cukup berpengaruh adalah pendatang dari Cina yang membawa kepercayaan dan seni dari negerinya. Dalam  Sejarah  diterangkan  bahwa  Sunan  Gunung  Jati  yang  mengembangkan ajaran  Islam  di  daerah  Cirebon  menikah  dengan  seorang  putri  Cina  Bernama Ong TIe. Istri beliau ini sangat menaruh perhatian pada bidang seni, khususnya keramik.  Motif-motif  pada  keramik  yang  dibawa  dari  negeri  cina  ini  akhirnya mempengaruhi motif-motif batik hingga terjadi perpaduan antara kebudayaan Cirebon-Cina. Salah  satu  motif  yang  paling  terkenal  dari  daerah  Cirebon  adalah  batik  Mega Mendung  atau  Awan-awanan.  Pada  motif  ini  dapat  dilihat  baik  dalam  bentuk maupun warnanya bergaya selera cina. Motif  Mega  Mendung  melambangkan  pembawa  hujan  yang  di  nanti-natikan sebagai  pembawa  kesuburan,  dan  pemberi  kehidupan.  Motif  ini  didominasi dengan   warna   biru,   mulai   biru   muda   hingga   biru   tua.   Warna   biru   tua menggambarkan  awan gelap yang mengandung air hujan, pemberi  kehidupan, sedangkan warna biru muda melambangkan semakin cerahnya kehidupan.
  3. Batik motif TruntunBoleh dibilang motif Truntum  merupakan simbol dari cinta yang bersemi kembali.  Menurut  kisahnya,  motif  ini  diciptakan  oleh  seorang  Ratu  Keraton Yogyakarta. Sang  Ratu  yang  selama  ini  dicintai  dan  dimanja  oleh  Raja,  merasa  dilupakan oleh  Raja  yang  telah  mempunyai  kekasih  baru.  Untuk  mengisi  waktu  dan menghilangkan  kesedihan,  Ratu  pun  mulai  membatik.  Secara  tidak  sadar  ratu membuat  motif  berbentuk  bintang-bintang  di  langit  yang  kelam,  yang  selama ini menemaninya dalam kesendirian. Ketekunan Ratu dalam membatik menarik perhatian    Raja    yang    kemudian    mulai    mendekati    Ratu    untuk    melihat pembatikannya.  Sejak  itu  Raja  selalu  memantau  perkembangan  pembatikan Sang  Ratu,  sedikit  demi  sedikit  kasih  sayang  Raja  terhadap  Ratu  tumbuh kembali.  Berkat  motif  ini  cinta  raja  bersemi  kembali  atau  tum-tum  kembali, sehingga  motif  ini  diberi  nama  Truntum,  sebagai  lambang  cinta  Raja  yang bersemi kembali.
  4. Batik JlamprangMotif  -  motif  Jlamprang  atau  di  Yogyakarta  dengan  nama  Nitik  adalah salah   satu   batik   yang   cukup   popular   diproduksi   di   daerah   Krapyak Pekalongan.  Batik  ini  merupakan  pengembangan  dari  motif  kain  Potola  dari India yang berbentuk geometris kadang berbentuk bintang atau mata angin dan menggunakan ranting yang ujungnya berbentuk segi empat. Batik Jlamprang ini diabadikan menjadi salah satu jalan di Pekalongan.
  5. Batik PegantinSetiap   motif   pada   batik   tradisional   klasik   selalu   memiliki   filosofi tersendiri. Pada motif Batik, Khususnya dari daerah jawa tengah, terutama Solo dan  Yogya,  setiap  gambar  memiliki  makna.  Hal  ini  ada  hubungannya  dengan arti  atau  makna  filosofis  dalam  kebudayaan  Hindu-Jawa.  Pada  motif  tertentu ada  yang  dianggap  sakral  dan  hanya  dapat  dipakai  pada  kesempatan  atau peristiwa tertentu, diantaranya pada upacara perkawinan. Motif  Sido-Mukti biasanya dipakai  oleh pengantin pria dan wanita pada acara perkawinan,  dinamakan  juga  sebagai  Sawitan  (sepasang).  Sido  berarti  terus menerus  atau  menjadi  dan  mukti  berarti  hidup  dalam  berkecukupan  dan kebahagiaan.  jadi  dapat  disimpulkan  motif  ini  melambangka  harapan  akan masa depan yang baik, penuh kebahagiaan  unuk kedua mempelai. Selain Sido Mukti terdapat pula motif Sido Asih yang maknanya hidup dalam kasih sayang. Masih ada lagi motif Sido Mulyo yang berarti hidup dalam kemuliana dan Sido Luhur yang berarti dalam hidup selalu berbudi luhur. Ada pula motif yang bukan sawitan kembar, tetapi biasanya dipakai pasangan pengantin  yaiu  motif  Ratu  Ratih  berpasangan  dengan  Semen  Rama,  yang melambangkan  kesetiaan  seorang  istri  kepada  suaminya.  Sebenarnya  masih banyak lagi motif yang biasa dipakai pasangan pengantin, semuanya diciptakan dengan  melambangkan  harapan,  pesan,  niat  dan  itikad  baik  kepada  pasangan pengantin.  Pada  Upacara  Perkawinan  Orang  tua  pengantin  biasanya  memakai motif  Truntum  yang  dapat  pula  berarti  menuntun,  yang  maknanya  menuntun kedua  mempelai  dalam  memasuki  liku-liku  kehidupan  baru  yaitu  berumah tangga. Dikenal  juga  motif  Sido  Wirasat,  wirasat  berarti  nasehat,  dan  pada  motif  ini selalu  terdapat  kombinasi  motif  truntum  di  dalamnya,  yang  melambangkan orangtua  akan  selalu  memberi  nasehat  dan  menuntun  kedua  mempelai  dalam memasuki kehidupan berumahtangga. 
  6. Batik Tiga NegeriKerumitan  membuat  sepotong  batik  tulis  ternyata  masih  belum  cukup  jika kita tahu sejarah motif Batik Ttiga Negeri. Motif Batik Tiga Negeri merupakan gabungan batik khas Lasem, Pekalongan dan Solo, pada jaman kolonial wilayah memiliki  otonomi  sendiri  dan  disebut  negeri.  Mungkin  kalau  hanya  perpaduan motifnya yang khas masing-masing daerah masih wajar dan biasa, tetapi yang membuat batik ini memiliki nilai seni tinggi adalah prosesnya. Konon menurut para   pembatik,   air   disetiap   daerah   memiliki   pengaruh   besar   terhadap pewarnaan,  dan  ini  masuk  akal  karena  kandungan  mineral  air  tanah  berbeda menurut letak geografisnya. Maka dibuatlah batik ini di masing-masing daerah. Pertama, kain batik ini dibuat di Lasem dengan warna merah yang khas, seperti merah darah, setelah itu kain batik tersebut dibawa ke Pekalongan dan dibatik dengan  warna biru, dan  terakhir kain  diwarna coklat sogan yang  khas di  kota Solo. Mengingat sarana transportasi pada zaman itu tidak sebaik sekarang, maka kain Batik Tiga Negeri ini dapat dikatakan sebagai salah satu masterpiece batik.
Sumber Pustaka : 
Mulyana D, Jalaluddin R. 2006. Komunikasi  Antarbudaya:Panduan
Berkomunikasi  dengan  Orang-Orang  Berbeda  Budaya. Bandung: Remaja
Rosdakarya. 

Wilson, Edward O. 1998. Consilience: The Unity of Knowledge. Vintage: New
York.